oleh:
Syarifuddin
I must
love what I’ve destroy, and destroy the thing I love
(Sting-Moon
Over Bourbon Street)
I
Membaca karya-karya Gatot Pujiarto, ibarat memasuki
lebatnya hutan yang dilebati dengan segala jenis pepohonan. Kita misalnya tak
hanya dihadapkan pada satu perkara, melainkan banyak perkara dalam konteks
kekaryaan Gatot Pujiarto yang terangkum dalam pameran tunggal ini. Gatot tak hanya menghadirkan persoalan sajian
visual semata, namun juga keberagaman medium serta tema-tema karya.
Sajian visual yang cenderung ekspresif menjadi kekuatan yang tersendiri. Dalam
catatan saya Gatot Pujiarto adalah salah satu perupa yang tersendiri, sebab ia
secara khusus keluar dari kecenderungan melukis corak realistik, dimana corak
realistik ini cenderung marak di Jawa Timur. Meski ia pada awal-awal prosesnya
juga sempat belajar dengan tekun hal ikhwal corak realistik, namun hal ini tak
membuatnya tertarik dan berhenti disitu. Sesekali, teknis pencahayaan serta
cara membuat volume pada obyek-obyek
yang diangkatnya ke kanvas muncul di sana, kendati coretan-coretan kuas,
tempelan warna kertas serta jalinan perca sekilas menenggelamkan adanya
kecenderungan tersebut.
Kegemarannya membaca karya-karya seniman ekpresif seperti
Van Gogh, Otto Dix, serta Chaim Soutine juga telah membawanya pada pelbagai
kemungkinan visual yang secara menerus ia ekplorasi. Kemungkinan visual yang
begitu jamak ini hanya bisa kita lihat, jika kita melihat karya-karya
Gatot dari awal. Eksplorasi dari teknis
coretan dengan kuas, palet, tube serta pelbagai kecenderungan pilihan warna
cukup kaya. Warna-warna biru, hitam, merah tua yang mengarah pada warna gelap
hadir pada karya-karya awalnya, kemudian pada berikutnya juga mulai banyak
memasukkan warna-warna putih. Pergeseran corak yang juga mencolok adalah, Gatot
membiarkan bagian-bagian latar dengan warna flat dan kosong. Ia seperti ingin
memberikan ruang dan tak lagi menjejalkan sapuan-sapuannya hingga kanvas tidak
meninggalkan ruangan kosong sama sekali. Menjejalkan pelbagai sapuan serta
aksen pada kanvasnya memanglah berhasil, terutama untuk tema-tema yang
menyajikan cerita-cerita horor kehidupan. Cerita-cerita horor kehidupan yang
meneror cukup mengena pada saat dihadirkan dengan muatan citra yang berjejal di
dalam kanvasnya. Teror visual yang muncul dari pengolahan teknis, serta
penguasaan bidang, sama kuatnya dengan teror yang muncul dari cerita-cerita
horor kehidupan. Terlebih karya-karyanya memang naratif, namun tema yang
naratif itu tidak lantas hadir seperti pamflet yang vulgar. Meski naratif, kekuatan
metaforisnya perlu diperhitungkan sebab kekuatan itulah yang menuntun untuk
sampai pada cerita-cerita yang ia kisahkan.
Melihat pergeseran demi pergeseran yang telah
dilakukannya, ia seolah menegaskan bahwa kehendak untuk terus bermutasi selalu
ada di dalam dirinya. Dari pergeseran-kepergeseran yang terjadi pada
karya-karyanya, muncul tajuk pameran “MUTASI”. Tajuk MUTASI, saya kira cukup
mengena untuk dipakai sebagai perspektif dalam membaca karya-karya Gatot.
II
Kata mutasi
memang sering kita dengar atau kita baca dari ranah ilmu pasti yakni dunia
biologi. Terlebih lagi kata “mutasi genetis” sering kita dengarkan. Dalam
WordWeb, mutasi dalam ranah biologi didefinisikan sebagai perubahan
karakteristik yang dimiliki oleh organisme, dimana perubahan karakteristik itu
disebabkan oleh perubahan kromosom. Sedangkan di wilayah genetis didefinisi
sebagai perubahan yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang kemudian
berimplikasi pada perubahan struktur genetis. Kedua definisi ini menjelaskan bahwa perubahan itu
cenderung terjadi pada wilayah
‘dalam’, dimana perubahan itu kemudian ikut merubah struktur bentuk luarnya
juga. Mutasi ini juga cenderung bertahap, atau melalui fase-fase, dengan kata
lain, perubahan itu tidak terjadi secara radikal. Karena itu kata ‘pergeseran’
lebih tepat untuk dipakai menggambarkan proses itu ketimbang kata ‘perubahan’.
Teori mengenai pergeseran, atau mutasi dalam wilayah
biologi ini, memang cukup banyak menarik perhatian para pemikir, dalam hal ini
juga para pemikir sosial seperti Niklas Luhmann[ii].
Ia banyak mempelajari teori-teori biologi untuk mengkombinasi teori-teori
sosialnya. Teori-teori Luhmann menurut saya agak operatif dan cenderung bisa
dipahami, terutama dalam konteks perkembangan proses kesenian. Luhmann memang
tak mendasarkan pandangannya
tentang pergeseran
tersebut dengan peristilahan mutasi. Ia mendasarkan teorinya dengan
istilah autopoietic. Autopoietic ini sesungguhnya ia ambil dari ranah biologi.
Dari ranah ini ia mendapatkan pemahaman bahwa sel dalam tubuh manusia juga
memiliki kemampuan yang unik yakni ia dapat melakukan penyembuhan diri,
regenerasi secara sendiri atau autopoietic (self-creating). Autopoietic
ini adalah upaya untuk bertahan ketika menghadapi dunia yang baru, dunia yang
berevolusi. Perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungannya itu, menyebabkan
sel berupaya untuk melakukan strategi mengubah dirinya. Strategi ini adalah
upaya untuk bertahan hidup, dengan demikian strategi ini kemudian menjadi
semacam keharusan.
Seperti halnya sebuah sel, manusia memiliki kemampuan
yang sama, yang diwarisi dari sel di dalam diri manusia. Secara global,
kemampuan mengubah diri, penciptaan diri
dalam diri manusia, adalah sebentuk kreatifitas untuk menghadapi situasi yang
baru. Dalam konteks yang lebih sempit—dunia kesenian, kreatifitas telah lama
dikenali, diperbincangkan dan sering juga menjadi perdebatan yang khusus.
Kreatifitas hanya mungkin terjadi tentu saja jika seorang seniman memiliki
sikap kritis tidak hanya dalam menghadapi karyanya sendiri, namun sikap kritis
terhadap situasi yang sedang berkembang baik dalam dunia kesenian maupun dunia
keseharian. Kritisisme yang matang akan
melahirkan sikap yang pro-aktif, bukan sikap reaktif. Kritisisme
yang reaktif dalam dunia seni saat ini, barangkali dapat kita umpamakan
dengan pelbagai sikap seniman yang tiba-tiba berbondong-bondong untuk merayakan
gaya melukis realisme China, atau ramai-ramai merayakan gaya berkarya parodi
dll.
Kecenderungan seniman, seperti yang digambarkan di atas,
bagi saya dikarenakan karena mereka hanya dibekali dengan kemampuan ‘melihat’,
bukan kemampuan untuk ‘membaca’ karya. Perbedaannya disini cukup tegas, jika
hanya mampu ‘melihat’ maka output-nya tak lebih dari apa yang dilihat.Sedangkan
kemampuan ‘membaca’ biasanya akan menghasilkan sesuatu yang lebih dari apa yang
dibaca. Sebab dalam laku membaca, kritisisme macam mempertanyakan, menyangkal,
menyetujui bahkan menegaskan bisa muncul dan terngiang-ngiang. Kisah Picasso
misalnya, yang secara rutin ‘bergentayangan’ pada pameran tunggal mengenang
kematian Cezanne, serta berdiri berlama-lama di depan karya-karya Cezanne
adalah upaya membaca. Demikian kebiasaan menyambangi sahabat tuanya
Matisse, juga dibarengi kemampuan membaca karya-karya Matisse, bahkan
koleksi-koleksi patung purba yang dimiliki Matisse, juga tak luput dari
‘pembacaannya’. Konon dari kedua seniman itu Picasso mampu memunculkan ide
untuk melukis kubistis yang legendaris itu.
Singkatnya, mutasi atau pegeseran dan kecenderungan yang
satu ke kecenderungan yang lain hanya mungkin jika dibarengi dengan kemampuan ‘membaca’ atau sikap kritis yang pro-aktif.
III
Mutasi-mutasi yang dilakukan Gatot dalam pelbagai kecenderungan
karyanya, dalam pandangan saya memang memiliki banyak sebab. Itu karena sikapnya
dalam proses pembacaan kritis, juga kadang pro-aktif, bahkan sesekali
menjadi sangat reaktif. Namun kedua kritisisme yang menimpanya segera
bisa ditengarai dengan cepat. Biasanya pengaruh yang kuat dari luar, yang
melahirkan sikap reaktif, tak akan membekas lama dalam proses
eksplorasinya. Sedangkan sikap pro-aktif, cenderung berjalan lamban,
namun biasanya secara berangsur, pada jarak tertentu terlihat jelas pergeserannya. Sikap reaktif,
sepertinya selalu menginginkan titik terang dan perubahan yang demikian cepat,
tak jarang berakhir pada jalan buntu. Sedangkan sikap proaktif yang
cenderung santai, tidak terburu-buru, namun intens dilakukan justru berujung
pada wujud pergeseran yang tampak dalam karyanya.
Dua pergeseran belakangan, yang memakai dua medium
berbeda justru menunjukkan kekuatannya. Dalam sebuah perbincangan dengan saya,
ide untuk melakukan kolase dengan menggunakan kertas yang diambilnya dari
potongan koran dan majalah justru hadir saat santai. Ia bahkan, memulainya
dengan pikiran: bagaimana sampah-sampah kertas yang terserak, sisa bahan
kolase untuk mix media (kertas dan akrilik) bisa dimanfaatkan? Hasilnya,
Gatot justru berbalik, memakai kertas yang telah dianggapnya sebagai sampah,
kini justru menjadi bahan utama[iii].
Ia tak lagi bekerja dengan mix media. Proses visualisasinya yang rumit,
mewarnai pemakaian media kertas yang diperlakukan sebagai cat. Memilih warna
yang dianggap cocok, baik dari sisi warna atau tone-nya. Yang juga menarik,
sobekan yang tidak merata, yang menghasilkan kelupasan warna putih kertas juga
ia manfaatkan sebagai bagian, yang tidak luput dari pengaturan komposisi, agar
tiap-tiap bagian sobekan kertas yang ditempelkan menjadi satu kesatuan.
Sikap proaktif yang muncul, ternyata bergema
panjang pada wilayah pemakaian mediumnya. Kini, Gatot memilih kain perca
sebagai mediumnya. Munculnya berawal dari renungannya terhadap bahan bekas dan
perca kain tinggalan penjahit, sama posisinya seperti kertas sisa kolase untuk
mix media-nya. Dalam renungan ini, pergeseran dari satu renungan ke renungan
yang lain memang amatlah lumrah. Barangkali aliran dari pegeseran ke pergeseran
itu bisa dijelaskan melalui postulat William James. William James adalah
seorang sastrawan yang mengumandangkan persoalan psikologis dalam diri manusia.
Menurut James, ada suatu aliran psikologis yang menurutnya ibarat aliran sungai
yang bergerak. Ia menyebutnya sebagai stream of consciousness. Aliran
yang berangkatnya dari apa dan berakhir pada apa. Awal dan akhiran berdiri
secara centang perenang, ia tak memiliki kaitan khusus. Singkatnya kondisi ini
sama seperti seorang yang ngerumpi, awalnya berbicara tentang sikat gigi,
kemudian bebicara gigi kuda, kemudian berbicara kulit kuda, kemudian berbicara
kuda catur, berbicara Karpov, Rusia, Amerika, perang dingin, dst, dst..
Aliran kesadaran seperti ini, memang memberikan kebebasan
bagi lahirnya idiom baru bagi perupaan. Namun jika dibiarkan sama sekali tanpa
renungan dan resapan maka, aliran itu akan terus dan terus tanpa memberikan
kekayaan kemungkinan baru. Ibarat aliran sungai, jika ia dibiarkan tanpa upaya
untuk membendung sama sekali, aliran itu justru berpotensi menjadikan banjir.
Tapi jika terlalu lama dibendung, genangan air itu justru menjadi sarang
penyakit, Dalam hal ini, memunculkan kecupetan cara pandang, karena selalu
berpikir bahwa dunia kreatif hanya sebatas genangan itu saja.
Pada dua proses belakangan ini, rupanya aliran
kesadaran(stream of consciousness) yang demikian deras mampu ia bendung,
sehingga memunculkan kemungkinan perupaan yang baru bagi Gatot. Perupaan
melalui perca, dari sisi teknis visualisasinya juga menarik disimak. Misalnya
saja, jika pada awalnya Gatot memperlakukan perca itu ibarat sobekan kertas.
Pada media kertas, seperti pada umumnya ia memakai lem untuk merekatkan antara
satu sobekan dengan sobekan yang lain, sementara pada perca ia mencoba memakai
benang untuk menjahitkan. Jika pada awalnya jahitan itu hanya diupayakan untuk
merekatkan potongan-potongan perca, jahitan yang menelusup permukaan itu kini
berubah fungsi. Jalinan benang itu kini justru menjadi bagian strategi
perupaan. Benang-benang itu diperlakukan ibarat sebuah tarikan garis jika menggunakan
kuas, sedangkan untuk warna flat, melebar dan rata ia menggunakan potongan
perca.
IV
Setelah sekian panjang antara teks dan konteks
diperkarakan, satu pihak mementingkan teks (visual karya) dan di lain pihak
mengedepankan isi atau konteks. Kini perdebatan macam itu memang tidak bergema lagi.
Kedua kubu yang saling memperkarakan, rupanya sudah sama-sama melihat bahwa dua
irisan itu sama pentingnya. Dua irisan itu seperti dua sisi dari mata uang yang
sama.
Demikian juga dalam proses berkarya Gatot. Terkadang
dalam proses berkaryanya ia lebih didorong oleh keinginan untuk mengguratkan
sebuah garis. Dari guratan-guratan itu kemudian justru muncul ide kemana ia
akan membawa lukisannya. Apa yang mau ia kemukakan dalam lukisannya. Tapi
kebiasaan melukis seperti itu tidak mutlak terjadi pada Gatot, ia bahkan juga
sering dirangsang oleh cerita-cerita kawan-kawannya yang datang atau ia
datangi. Beberapa lukisan seperti Rimba
Kota (2001), ‘Lu dulu biar....’ (2008), Yang Frustrasi (2008), Ritus (2008), Bukan Wanita Biasa (2008). Justru muncul dari ide yang
ditangkap dari cerita teman-teman yang ternyata secara langsung mengalaminya, atau
muncul dari renungannya kecenderungan ini menegaskan bahwa karya-karya itu
tidak selalu muncul dari respon visual
awal yang ia buat.
Karya yang berjudul ‘Lu
dulu biar...’(20008) adalah karya yang
komikal dari sisi idenya. Namun
dibalik gambar yang tergolong satir sesungguhnya ada pengamatan yang berbuntut pada kritik.
Karya itu berupaya menegaskan tentang kebiasaan seseorang yang sangat mencintai
bintang peliharaannya.Si tuan yang terlihat lusuh, tak terurus dan jorok,
maunya menyuruh piaraannya untuk mandi, membersihkan badannya agar tampil
bersih,namun rupanya binatang peliharaan menyarankan agar Sang Tuan duluan,
karena mungkin ia terlihat lebih lusuh dan jorok. Yang pokok dalam kritik yang
komikal seperti ini, ia ingin menegaskan bahwa: gandrung yang patologis, apapun
jenis dan wujudnya, cenderung meminggirkan hal-hal yang lain, bahkan hal yang
paling penting sekalipun akan terpinggirkan.
Rupanya bahasa yang imajinatif[iv]
yang dipilih bukan saja membuat tampilan visualnya menjadi unik namun juga
memberikan kekuatan metaforis, sehingga karya-karyanya tidak terseret untuk
menjadi vulgar bahkan menjadi sloganistik.
Dari dua proses karya yang dimiliki Gatot, saya ingin
menegaskan bahwa porsi kapasitas intelektual dan kapasitas intuitif, sama-sama
hadir dalam proses mengawali sebuah karya meskipun kedatangan dua kecenderungan
memulai proses itu harus juga diperhitungkan dikemudian hari.[v]
Sebagaimana seorang perupa pada umumnya, seringkali proses visualisasi di atas
kanvas punya tantangannya sendiri, karena itu menjadi menarik.Tantangan itu
misalnya muncul dari pengolahan warna, bentuk serta bidang yang tidak
direncanakan, namun menarik untuk ditindaklanjuti.
Tantangan demi tantangan
tetap patut dicoba, dihidupi, sebab tantangan itu yang akan selalu menghidupi
kreatifitas, mutasi-mutasi dan pergeseran-pergeseran. Dan sepertinya saran
Sting dalam konteks berkarya jadi penting: Harus mencintai apa yang telah
dihancurkan dan harus menghancurkan apa yang kita cintai (baca: gaya yang telah
dicapai).
--------------------
SYARIFUDDIN. Alumnus
Pendidikan Seni Rupa IKIP Malang (Universitas Negeri Malang), kurator sejumlah
pameran seni rupa, seperti Pameran Pra Bali Biennale, Balai Pemuda Surabaya
2005 Organized by Gracia Art Gallery Surabaya; Biennale Jatim I: Cityscape,
Balai Pemuda 2006, Organized Taman Budaya Jawa Timur; Pameran Mari Bergembira,
Cultural Center ITS, Mei 2006, Surabaya. Berkesempatan mengikuti residensi kurator
di Selasar Sunaryo Art Space Bandung tahun 2004, mengikuti workshop curator I
Curate, Gallery Soemardja , ITB, Bandung 2006,Ko-kurator untuk Biennale Jatim
II: Alienasi, 2007; Wakil Redaktur bulettin Gracia, terbitan Gracia Gallery
Surabaya. E-mail : syarifshadow@gmail.com
[i] Myoo’teyshun ini saya ambil dari cara baca dalam kamus
bahasa Inggris untuk kata MUTATION.
Dengan demikian rujukan pemaknaan tetap sama seperti yang dituliskan dalam
kamus WordWeb
[ii] Untuk pembahasan yang lebih komprehensif mengenai Luhmann, lihat Erkki
Sevänen,” Art as an Autopoietic Sub-System of Modern Society A Critical
Analysis of the Concepts of Art and Autopoietic Systems in Luhmann’s Late
Production”, Theory, Culture & Society, 2001 (SAGE, London, Thousand
Oaks and New Delhi), Vol. 18(1): 75–103
[iii] Lihat karya yang berjudul Berselisih (2007). Karya ini muncul dari
renungan mengenai kertas, bahan bekas yang kemudian menuntut pengolahan lebih
lanjut atau daur ulang.
[iv] Periksa pernyataan seniman dalam katalog pameran Holopis Kuntul
Baris++ 2005, hal 45: ‘Dalam penuangannya ke dalam kanvas, selalu saya
wujudkan dalam bentuk-bentuk imajinatif.
[v] Kerja seorang seniman
lebih didasarkan pada penggunaan
kapasitas ‘intuisi’, yaitu kapasitas dalam mengolah berbagai potensi
indera (sense) untuk
menghasilkan sebuah ‘citra’ lewat
berbagai medium. Kapasitas inderawi ini sering menjadi pemahaman yang berbeda
dengan pemahaman yang bersifat ‘intelektual’. Kapasitas intelektual bisa
disebut sebagai sebuah kapasitas dalam
mengolah pikiran untuk menghasilkan konsep-konsep. Namun, hal ini tidak
berarti bahwa seorang seniman tidak mempunyai kapasitas ‘intelektual’.
Kapasitas intelektual ini tetap dimiliki oleh seorang seniman, meski dalam
banyak kasus atau prakteknya, kapasitas intelektual itu seperti tidak
tampak. Syarifuddin, Pengantar Kuratorial use Your Imagination: IMAJINASI,
SENSE, DAN REFERENS DALAM KARYA SENI