KEBEB(L)ASAN



KEBEB(L)ASAN
Syarifuddin
I
Beberapa waktu yang lalu sekitar tahun 2009, saya mencoba melakukan dual booting android di smartphone saya yang berbasis windows mobile. Waktu itu semangat  saya sangat kuat, karena baru kali ini mengetahui ada mobile device bisa dual boot. Beberapa langkah saya ikuti, tapi juga tak kunjung berhasil, dari semagat yang membara itu ada sebuah kode sumber yang kemudian saya buka, kode sumber itu kemudian saya baca, karena di dalamnya memang ada petunjukknya. Penasaran semakin menguat manakala kode sumber itu tak berhasil menjalankan dual boot di device saya. Kemudian iseng-iseng alamat email yang ada dalam kode sumber itu saya hubungi. Hasilnya sang pembuat menyatakan bahwa:  “Kode sumber itu memang bikinan dia, tapi dia bilang bahwa kode itu sudah turunan dari kode sumber yang dia buat. Saya sendiri juga tidak mengerti untuk apa kode sumber ini.” Jawaban itu seperti menyeruak dan membuat saya kagum. Kreatifitas!.
Di kala lain hal serupa juga saya temukan kasus yang serupa, namun dalam wilayah kode sumber untuk grafis. Saya, secara sengaja mendaftarkan diri untuk mengikuti forum kode sumber grafis tersebut. Dalam suatu kesempatan seseorang melakukan posting kode sumber ke forum. Warga forum saat itu sangat menyukai posting kode sumber yang dilakukan seorang warga forum. Kode itu menyebar dan beberapa waktu kemudian sekitar 3 bulan dari posting kode sumber itu, seorang warga forum yang lain, posting lagi dan menyatakan bahwa ia telah mengembangkan kode sumber yang telah diposting 3 bulan yang lalu, ia mencatut nama pembuat kode sumber awal itu. Si pembuat kode sumber awal menyatakan bahwa dia merasa heran, karena dia nyaris tidak mengenali bangunan dari kode sumber yang sudah dimodifikasi itu.
II
Dan kini, saat saya membaca buku Budaya Bebas, Lawrence Lessig. Apa yang terjadi dan mengagetkan saya, ternyata tercatat secara cukup bagus dan komprehensif dalam buku ini. Buku ini dengan secara terang benderang memberikan perihal contoh kasus, yang barangkali bisa dibilang contoh yang paling beragam. Memang segala contoh dalam buku ini tidak serta merta memberikan kejelasan bahkan “penyembuhan”, namun bisa menjadi jalan bagi terbukanya pandangan-pandangan untuk mengatasi persoalan kontemporer yang terkait dengan hak. Contoh kasus yang terbentang dari persoalan pesawat Wright Brother:
Pada waktu Wright bersaudara menemukan pesawat terbang,hukum Amerika menyatakan bahwa pemilik suatu properti serta merta dianggap bahwa ia tidak hanya memiliki apa yang ada di permukaan tanah, melainkan juga di bawahnya,-sampai ke pusat bumi, dan semua ruang di atasnya,-”yang membentang ke jangkauan tak terbatas, ke arah atas”.(Hal.18)

Atau contoh dari keluarga Causby:
Pada tahun 1945, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi kasus di
pengadilan federal. Ketika petani-petani North Carolina, Thomas
Lee dan Tinie Causby mulai kehilangan ayam-ayamnya karena
penerbangan militer yang terbang rendah (ayam-ayam yang ketakutan
itu terlihat terbang ke menabrak dinding kandang mereka dan mati),
keluarga Causby mengajukan tuntutan hukum dan mengatakan bahwa
pemerintah sudah melanggar ke dalam lahan mereka.(Hal 2)
Beberapa contoh seperti diatas cukup berhasil menunjukkan bahwa hukum atau manusia pada awalnya selalu gagap bahkan cenderung “lucu” dalam menanggapi pelbagai perubahan. Contoh yang terdapat dalam buku Budaya bebas dengan jelas menunjukkan proses-proses pelik bagaimana hak dipahami, dimengerti dan dimplikasikan dalam ranah hukum, sebagai upaya memberikan jaminan terhadap hak-hak publik.
Hal yang juga menarik dalam buku ini adalah persoalan pembahasan kebebasan. Pembahasan soal kebebasan dalam buku ini bisa dibilang menjadi pokok, sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Lessig. Lessig memaparkan arti penting kebebasan  dan terutama kebebasan pada masa internet. Kebebasan dalam masa internet telah melahirkan apa yang oleh Lessig disebut dengan Budaya Bebas.
Budaya Bebas adalah tentang persoalan yang disebabkan Internet bahkan setelah modem dimatikan. Ia adalah argumen tentang bagaimana perang yang berkecamuk dalama kehidupan online juga berdampak besar pada orang yang tidak online. (Hal: XI-XII)

Lessig mempertegas penyataannya itu dengan menyatakan:

Suatu budaya bebas bukanlah budaya tanpa
kepemilikan, ia bukanlah budaya di mana seniman tidak mendapat
bayaran. Budaya tanpa kepemilikan, yang di dalamnya seniman tidak
dibayar,ialah anarki, bukan kebebasan. Anarki bukanlah isu yang mau
saya angkat di sini.

Sebaliknya, budaya bebas yang mau saya bela dalam buku ini
merupakan titik temu antara anarki dan kontrol. Budaya bebas,
seperti pasar bebas, disarati oleh kepemilikan. Ia disarati oleh aturan
kepemilikan dan kontrak yang ditegakkan oleh negara. (Hal XIV).

Renungan budaya bebas Stallman juga Lessig, secara menerus mendapatkan sambutan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kita bisa melihat penyataan Eric Smidt, Executive Chairman Google baru-baru ini saat melakukan tur Asia, pernyataan Smidt adalah suara lain dari soal yang sama-sama direnungkan baik Stallman maupun Lessig. Smidt menyatakan bahwa perang patent yang berlangsung antara Samsung dan Apple sesungguhnya memberikan dampak buruk, terutama bagi kreatifitas dan inovasi (baca: kebebasan).

“Literally patent wars prevent choice, prevent innovation and I think that is very bad,” Schmidt said, according to a report from the Korea Times. ”We are obviously working through that and trying to make sure we stay on the right side of these issues. So ultimately Google stands for innovation as opposed to patent wars.” (techcruch.com)


III

Pembajakan barangkali bisa dikatakan sebagai anak dari kebebasan dunia digital dan internet hari ini. Pembajakan seperti mengalami musim semi di dunia digital. Bayangkan teknologi telah berhasil menciptakan kopian dengan kualitas yang sama mirip dari aslinya, dalam dunia digital antara asli dan palsu seperti tak lagi dapat dibedakan. Kekuatan kemiripan duplikasi ini juga menjadi faktor penting dari mewabahnya bajakan. Memang mengkopi belum tentu bisa dikatakan melakukan pembajakan. Seseorang dikatan melakukan pembajakan jika dalam kasus mengkopi tersebut terlibat unsur “pengambilan” hak orang lain. Penjelasan akan kopian dan “perampasan” hak seseorang dalam buku ini bisa di baca di bagian Pembajakan. Dalam buku Budaya Bebas ini, Lessig juga memberikan penegasan antara kopian dan pembajakan, dengan merujuk pada pernyataan Lord Masifeld :
                       
Seseorang boleh menggunakan kopian lembaran musik tersebut
untuk bermain, tetapi dia tidak berhak untuk merebut keuntungan
dari penciptanya dengan cara memperbanyak kopian dan
menjualnya untuk kepentingan pribadi.(hal.19)

Masih dalam bab pembajakan, di bagian ini juga diterangkan bahwa menjamurnya pembajakan tersebut semakin menjadi-jadi manakala teknologi internet peer to peer (p2p) dengan mudah dapat dijangkau dimana pun dan oleh siapa pun. Pendistribusian informasi adalah hal penting bagi perkembangan ummat manusia seperti ditekankan dalam pelbagai ceramah dan kuliah umum Tim Berners Lee. Tim si penemu www, dengan bersemangat menyatakan bahwa jika data dimasukkan ke dalam sebuah jaringan internet, maka data itu akan tumbuh berkembang layaknya tanaman. Jika diteruskan dengan pernyataan Lessig dalam buku Budaya Bebas maka silahkan upload semua data, asal data itu “tidak memuat hak yang dirampas dari orang lain”.  Dengan kata lain kebebasan tetap terus harus dijaga bahkan terus dikembangkan sebab banyak inovasi dan kreativitas lahir dari kebebasan, namun kebebasan belakangan sering diilakukan sampai kebeblasan dalam hal ini adalah kebebasan itu memuat “perampasan hak orang lain”.


Creative Commons License