Seni Rupa Publik di Masa Dunia Digital

Perkembangan dunia digital memang tak bisa dihindarkan, dunia digital adalah dunia bawah sadar kita. Mulai berangkat tidur hingga bangun tidur, kita tak bisa lepas dari dunia itu. Kita mulai hari misalnya dengan posting foto lewat instagram atau sekadar bergurau dipermulaan hari dengan twit ringan, atau bisa juga dengan membuat grup di WhatsApp memasukan pelbagai nama teman, atau sahabat, rekan kerja, juga kerabat . . </p>

Hal menarik dalam dunia digital ini adalah, setiap detik orang berbagi cerita, citra juga media audio visual.Dalam proses berbagi itu banyak kreativitas yg kita temui ada yang berbagi gambar doodle yg dibuat sekenanya, bisa juga memanfaatkan perangkat lunak gratis yg tersebar ditoko apps, sekadar untuk menjahili foto-foto sahabat, kerabat atau rekan kerja.

Dunia digital, seperti yg banyak dikatakan orang-orang, ia bukan saja sekadar media namun dunia digital adalah perkara

Coffee Time everytimes. .


KEBEB(L)ASAN



KEBEB(L)ASAN
Syarifuddin
I
Beberapa waktu yang lalu sekitar tahun 2009, saya mencoba melakukan dual booting android di smartphone saya yang berbasis windows mobile. Waktu itu semangat  saya sangat kuat, karena baru kali ini mengetahui ada mobile device bisa dual boot. Beberapa langkah saya ikuti, tapi juga tak kunjung berhasil, dari semagat yang membara itu ada sebuah kode sumber yang kemudian saya buka, kode sumber itu kemudian saya baca, karena di dalamnya memang ada petunjukknya. Penasaran semakin menguat manakala kode sumber itu tak berhasil menjalankan dual boot di device saya. Kemudian iseng-iseng alamat email yang ada dalam kode sumber itu saya hubungi. Hasilnya sang pembuat menyatakan bahwa:  “Kode sumber itu memang bikinan dia, tapi dia bilang bahwa kode itu sudah turunan dari kode sumber yang dia buat. Saya sendiri juga tidak mengerti untuk apa kode sumber ini.” Jawaban itu seperti menyeruak dan membuat saya kagum. Kreatifitas!.
Di kala lain hal serupa juga saya temukan kasus yang serupa, namun dalam wilayah kode sumber untuk grafis. Saya, secara sengaja mendaftarkan diri untuk mengikuti forum kode sumber grafis tersebut. Dalam suatu kesempatan seseorang melakukan posting kode sumber ke forum. Warga forum saat itu sangat menyukai posting kode sumber yang dilakukan seorang warga forum. Kode itu menyebar dan beberapa waktu kemudian sekitar 3 bulan dari posting kode sumber itu, seorang warga forum yang lain, posting lagi dan menyatakan bahwa ia telah mengembangkan kode sumber yang telah diposting 3 bulan yang lalu, ia mencatut nama pembuat kode sumber awal itu. Si pembuat kode sumber awal menyatakan bahwa dia merasa heran, karena dia nyaris tidak mengenali bangunan dari kode sumber yang sudah dimodifikasi itu.
II
Dan kini, saat saya membaca buku Budaya Bebas, Lawrence Lessig. Apa yang terjadi dan mengagetkan saya, ternyata tercatat secara cukup bagus dan komprehensif dalam buku ini. Buku ini dengan secara terang benderang memberikan perihal contoh kasus, yang barangkali bisa dibilang contoh yang paling beragam. Memang segala contoh dalam buku ini tidak serta merta memberikan kejelasan bahkan “penyembuhan”, namun bisa menjadi jalan bagi terbukanya pandangan-pandangan untuk mengatasi persoalan kontemporer yang terkait dengan hak. Contoh kasus yang terbentang dari persoalan pesawat Wright Brother:
Pada waktu Wright bersaudara menemukan pesawat terbang,hukum Amerika menyatakan bahwa pemilik suatu properti serta merta dianggap bahwa ia tidak hanya memiliki apa yang ada di permukaan tanah, melainkan juga di bawahnya,-sampai ke pusat bumi, dan semua ruang di atasnya,-”yang membentang ke jangkauan tak terbatas, ke arah atas”.(Hal.18)

Atau contoh dari keluarga Causby:
Pada tahun 1945, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi kasus di
pengadilan federal. Ketika petani-petani North Carolina, Thomas
Lee dan Tinie Causby mulai kehilangan ayam-ayamnya karena
penerbangan militer yang terbang rendah (ayam-ayam yang ketakutan
itu terlihat terbang ke menabrak dinding kandang mereka dan mati),
keluarga Causby mengajukan tuntutan hukum dan mengatakan bahwa
pemerintah sudah melanggar ke dalam lahan mereka.(Hal 2)
Beberapa contoh seperti diatas cukup berhasil menunjukkan bahwa hukum atau manusia pada awalnya selalu gagap bahkan cenderung “lucu” dalam menanggapi pelbagai perubahan. Contoh yang terdapat dalam buku Budaya bebas dengan jelas menunjukkan proses-proses pelik bagaimana hak dipahami, dimengerti dan dimplikasikan dalam ranah hukum, sebagai upaya memberikan jaminan terhadap hak-hak publik.
Hal yang juga menarik dalam buku ini adalah persoalan pembahasan kebebasan. Pembahasan soal kebebasan dalam buku ini bisa dibilang menjadi pokok, sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Lessig. Lessig memaparkan arti penting kebebasan  dan terutama kebebasan pada masa internet. Kebebasan dalam masa internet telah melahirkan apa yang oleh Lessig disebut dengan Budaya Bebas.
Budaya Bebas adalah tentang persoalan yang disebabkan Internet bahkan setelah modem dimatikan. Ia adalah argumen tentang bagaimana perang yang berkecamuk dalama kehidupan online juga berdampak besar pada orang yang tidak online. (Hal: XI-XII)

Lessig mempertegas penyataannya itu dengan menyatakan:

Suatu budaya bebas bukanlah budaya tanpa
kepemilikan, ia bukanlah budaya di mana seniman tidak mendapat
bayaran. Budaya tanpa kepemilikan, yang di dalamnya seniman tidak
dibayar,ialah anarki, bukan kebebasan. Anarki bukanlah isu yang mau
saya angkat di sini.

Sebaliknya, budaya bebas yang mau saya bela dalam buku ini
merupakan titik temu antara anarki dan kontrol. Budaya bebas,
seperti pasar bebas, disarati oleh kepemilikan. Ia disarati oleh aturan
kepemilikan dan kontrak yang ditegakkan oleh negara. (Hal XIV).

Renungan budaya bebas Stallman juga Lessig, secara menerus mendapatkan sambutan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kita bisa melihat penyataan Eric Smidt, Executive Chairman Google baru-baru ini saat melakukan tur Asia, pernyataan Smidt adalah suara lain dari soal yang sama-sama direnungkan baik Stallman maupun Lessig. Smidt menyatakan bahwa perang patent yang berlangsung antara Samsung dan Apple sesungguhnya memberikan dampak buruk, terutama bagi kreatifitas dan inovasi (baca: kebebasan).

“Literally patent wars prevent choice, prevent innovation and I think that is very bad,” Schmidt said, according to a report from the Korea Times. ”We are obviously working through that and trying to make sure we stay on the right side of these issues. So ultimately Google stands for innovation as opposed to patent wars.” (techcruch.com)


III

Pembajakan barangkali bisa dikatakan sebagai anak dari kebebasan dunia digital dan internet hari ini. Pembajakan seperti mengalami musim semi di dunia digital. Bayangkan teknologi telah berhasil menciptakan kopian dengan kualitas yang sama mirip dari aslinya, dalam dunia digital antara asli dan palsu seperti tak lagi dapat dibedakan. Kekuatan kemiripan duplikasi ini juga menjadi faktor penting dari mewabahnya bajakan. Memang mengkopi belum tentu bisa dikatakan melakukan pembajakan. Seseorang dikatan melakukan pembajakan jika dalam kasus mengkopi tersebut terlibat unsur “pengambilan” hak orang lain. Penjelasan akan kopian dan “perampasan” hak seseorang dalam buku ini bisa di baca di bagian Pembajakan. Dalam buku Budaya Bebas ini, Lessig juga memberikan penegasan antara kopian dan pembajakan, dengan merujuk pada pernyataan Lord Masifeld :
                       
Seseorang boleh menggunakan kopian lembaran musik tersebut
untuk bermain, tetapi dia tidak berhak untuk merebut keuntungan
dari penciptanya dengan cara memperbanyak kopian dan
menjualnya untuk kepentingan pribadi.(hal.19)

Masih dalam bab pembajakan, di bagian ini juga diterangkan bahwa menjamurnya pembajakan tersebut semakin menjadi-jadi manakala teknologi internet peer to peer (p2p) dengan mudah dapat dijangkau dimana pun dan oleh siapa pun. Pendistribusian informasi adalah hal penting bagi perkembangan ummat manusia seperti ditekankan dalam pelbagai ceramah dan kuliah umum Tim Berners Lee. Tim si penemu www, dengan bersemangat menyatakan bahwa jika data dimasukkan ke dalam sebuah jaringan internet, maka data itu akan tumbuh berkembang layaknya tanaman. Jika diteruskan dengan pernyataan Lessig dalam buku Budaya Bebas maka silahkan upload semua data, asal data itu “tidak memuat hak yang dirampas dari orang lain”.  Dengan kata lain kebebasan tetap terus harus dijaga bahkan terus dikembangkan sebab banyak inovasi dan kreativitas lahir dari kebebasan, namun kebebasan belakangan sering diilakukan sampai kebeblasan dalam hal ini adalah kebebasan itu memuat “perampasan hak orang lain”.


Creative Commons License

Catatan Pameran Seni Rup Gatot Pujiarto Tembi Contemporary



[Myoo’teyshun][i]
oleh: Syarifuddin
I must love what I’ve destroy, and destroy the thing I love
(Sting-Moon Over Bourbon Street)

I
Membaca karya-karya Gatot Pujiarto, ibarat memasuki lebatnya hutan yang dilebati dengan segala jenis pepohonan. Kita misalnya tak hanya dihadapkan pada satu perkara, melainkan banyak perkara dalam konteks kekaryaan Gatot Pujiarto yang terangkum dalam pameran tunggal ini. Gatot  tak hanya menghadirkan persoalan sajian visual semata, namun juga keberagaman medium serta tema-tema karya.

Sajian visual yang cenderung ekspresif  menjadi kekuatan yang tersendiri. Dalam catatan saya Gatot Pujiarto adalah salah satu perupa yang tersendiri, sebab ia secara khusus keluar dari kecenderungan melukis corak realistik, dimana corak realistik ini cenderung marak di Jawa Timur. Meski ia pada awal-awal prosesnya juga sempat belajar dengan tekun hal ikhwal corak realistik, namun hal ini tak membuatnya tertarik dan berhenti disitu. Sesekali, teknis pencahayaan serta cara membuat volume  pada obyek-obyek yang diangkatnya ke kanvas muncul di sana, kendati coretan-coretan kuas, tempelan warna kertas serta jalinan perca sekilas menenggelamkan adanya kecenderungan tersebut.

Kegemarannya membaca karya-karya seniman ekpresif seperti Van Gogh, Otto Dix, serta Chaim Soutine juga telah membawanya pada pelbagai kemungkinan visual yang secara menerus ia ekplorasi. Kemungkinan visual yang begitu jamak ini hanya bisa kita lihat, jika kita melihat karya-karya Gatot  dari awal. Eksplorasi dari teknis coretan dengan kuas, palet, tube serta pelbagai kecenderungan pilihan warna cukup kaya. Warna-warna biru, hitam, merah tua yang mengarah pada warna gelap hadir pada karya-karya awalnya, kemudian pada berikutnya juga mulai banyak memasukkan warna-warna putih. Pergeseran corak yang juga mencolok adalah, Gatot membiarkan bagian-bagian latar dengan warna flat dan kosong. Ia seperti ingin memberikan ruang dan tak lagi menjejalkan sapuan-sapuannya hingga kanvas tidak meninggalkan ruangan kosong sama sekali. Menjejalkan pelbagai sapuan serta aksen pada kanvasnya memanglah berhasil, terutama untuk tema-tema yang menyajikan cerita-cerita horor kehidupan. Cerita-cerita horor kehidupan yang meneror cukup mengena pada saat dihadirkan dengan muatan citra yang berjejal di dalam kanvasnya. Teror visual yang muncul dari pengolahan teknis, serta penguasaan bidang, sama kuatnya dengan teror yang muncul dari cerita-cerita horor kehidupan. Terlebih karya-karyanya memang naratif, namun tema yang naratif itu tidak lantas hadir seperti pamflet yang vulgar. Meski naratif, kekuatan metaforisnya perlu diperhitungkan sebab kekuatan itulah yang menuntun untuk sampai pada cerita-cerita yang ia kisahkan.

Melihat pergeseran demi pergeseran yang telah dilakukannya, ia seolah menegaskan bahwa kehendak untuk terus bermutasi selalu ada di dalam dirinya. Dari pergeseran-kepergeseran yang terjadi pada karya-karyanya, muncul tajuk pameran “MUTASI”. Tajuk MUTASI, saya kira cukup mengena untuk dipakai sebagai perspektif dalam membaca karya-karya Gatot.

II
Kata mutasi memang sering kita dengar atau kita baca dari ranah ilmu pasti yakni dunia biologi. Terlebih lagi kata “mutasi genetis” sering kita dengarkan. Dalam WordWeb, mutasi dalam ranah biologi didefinisikan sebagai perubahan karakteristik yang dimiliki oleh organisme, dimana perubahan karakteristik itu disebabkan oleh perubahan kromosom. Sedangkan di wilayah genetis didefinisi sebagai perubahan yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang kemudian berimplikasi pada perubahan struktur genetis. Kedua definisi ini menjelaskan bahwa perubahan itu cenderung terjadi pada wilayah ‘dalam’, dimana perubahan itu kemudian ikut merubah struktur bentuk luarnya juga. Mutasi ini juga cenderung bertahap, atau melalui fase-fase, dengan kata lain, perubahan itu tidak terjadi secara radikal. Karena itu kata ‘pergeseran’ lebih tepat untuk dipakai menggambarkan proses itu ketimbang kata ‘perubahan’.

Teori mengenai pergeseran, atau mutasi dalam wilayah biologi ini, memang cukup banyak menarik perhatian para pemikir, dalam hal ini juga para pemikir sosial seperti Niklas Luhmann[ii]. Ia banyak mempelajari teori-teori biologi untuk mengkombinasi teori-teori sosialnya. Teori-teori Luhmann menurut saya agak operatif dan cenderung bisa dipahami, terutama dalam konteks perkembangan proses kesenian. Luhmann memang tak mendasarkan pandangannya tentang pergeseran tersebut dengan peristilahan mutasi. Ia mendasarkan teorinya dengan istilah autopoietic. Autopoietic  ini sesungguhnya ia ambil dari ranah biologi. Dari ranah ini ia mendapatkan pemahaman bahwa sel dalam tubuh manusia juga memiliki kemampuan yang unik yakni ia dapat melakukan penyembuhan diri, regenerasi secara sendiri atau autopoietic (self-creating). Autopoietic ini adalah upaya untuk bertahan ketika menghadapi dunia yang baru, dunia yang berevolusi. Perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungannya itu, menyebabkan sel berupaya untuk melakukan strategi mengubah dirinya. Strategi ini adalah upaya untuk bertahan hidup, dengan demikian strategi ini kemudian menjadi semacam keharusan.

Seperti halnya sebuah sel, manusia memiliki kemampuan yang sama, yang diwarisi dari sel di dalam diri manusia. Secara global, kemampuan  mengubah diri, penciptaan diri dalam diri manusia, adalah sebentuk kreatifitas untuk menghadapi situasi yang baru. Dalam konteks yang lebih sempit—dunia kesenian, kreatifitas telah lama dikenali, diperbincangkan dan sering juga menjadi perdebatan yang khusus. Kreatifitas hanya mungkin terjadi tentu saja jika seorang seniman memiliki sikap kritis tidak hanya dalam menghadapi karyanya sendiri, namun sikap kritis terhadap situasi yang sedang berkembang baik dalam dunia kesenian maupun dunia keseharian.  Kritisisme yang matang akan melahirkan sikap yang pro-aktif, bukan sikap reaktif. Kritisisme yang reaktif dalam dunia seni saat ini, barangkali dapat kita umpamakan dengan pelbagai sikap seniman yang tiba-tiba berbondong-bondong untuk merayakan gaya melukis realisme China, atau ramai-ramai merayakan gaya berkarya parodi dll.

Kecenderungan seniman, seperti yang digambarkan di atas, bagi saya dikarenakan karena mereka hanya dibekali dengan kemampuan ‘melihat’, bukan kemampuan untuk ‘membaca’ karya. Perbedaannya disini cukup tegas, jika hanya mampu ‘melihat’ maka output-nya tak lebih dari apa yang dilihat.Sedangkan kemampuan ‘membaca’ biasanya akan menghasilkan sesuatu yang lebih dari apa yang dibaca. Sebab dalam laku membaca, kritisisme macam mempertanyakan, menyangkal, menyetujui bahkan menegaskan bisa muncul dan terngiang-ngiang. Kisah Picasso misalnya, yang secara rutin ‘bergentayangan’ pada pameran tunggal mengenang kematian Cezanne, serta berdiri berlama-lama di depan karya-karya Cezanne adalah upaya membaca. Demikian kebiasaan menyambangi sahabat tuanya Matisse, juga dibarengi kemampuan membaca karya-karya Matisse, bahkan koleksi-koleksi patung purba yang dimiliki Matisse, juga tak luput dari ‘pembacaannya’. Konon dari kedua seniman itu Picasso mampu memunculkan ide untuk melukis kubistis yang legendaris itu.

Singkatnya, mutasi atau pegeseran dan kecenderungan yang satu ke kecenderungan yang lain hanya mungkin jika dibarengi dengan  kemampuan ‘membaca’ atau sikap kritis yang pro-aktif.

III
Mutasi-mutasi yang dilakukan Gatot dalam pelbagai kecenderungan karyanya, dalam pandangan saya memang memiliki banyak sebab. Itu karena sikapnya dalam proses pembacaan kritis, juga kadang pro-aktif, bahkan sesekali menjadi sangat reaktif. Namun kedua kritisisme yang menimpanya segera bisa ditengarai dengan cepat. Biasanya pengaruh yang kuat dari luar, yang melahirkan sikap reaktif, tak akan membekas lama dalam proses eksplorasinya. Sedangkan sikap pro-aktif, cenderung berjalan lamban, namun biasanya secara berangsur, pada jarak tertentu terlihat  jelas pergeserannya. Sikap reaktif, sepertinya selalu menginginkan titik terang dan perubahan yang demikian cepat, tak jarang berakhir pada jalan buntu. Sedangkan sikap proaktif yang cenderung santai, tidak terburu-buru, namun intens dilakukan justru berujung pada wujud pergeseran yang tampak dalam karyanya.

Dua pergeseran belakangan, yang memakai dua medium berbeda justru menunjukkan kekuatannya. Dalam sebuah perbincangan dengan saya, ide untuk melakukan kolase dengan menggunakan kertas yang diambilnya dari potongan koran dan majalah justru hadir saat santai. Ia bahkan, memulainya dengan pikiran: bagaimana sampah-sampah kertas yang terserak, sisa bahan kolase untuk mix media (kertas dan akrilik) bisa dimanfaatkan? Hasilnya, Gatot justru berbalik, memakai kertas yang telah dianggapnya sebagai sampah, kini justru menjadi bahan utama[iii]. Ia tak lagi bekerja dengan mix media. Proses visualisasinya yang rumit, mewarnai pemakaian media kertas yang diperlakukan sebagai cat. Memilih warna yang dianggap cocok, baik dari sisi warna atau tone-nya. Yang juga menarik, sobekan yang tidak merata, yang menghasilkan kelupasan warna putih kertas juga ia manfaatkan sebagai bagian, yang tidak luput dari pengaturan komposisi, agar tiap-tiap bagian sobekan kertas yang ditempelkan menjadi satu kesatuan.

Sikap proaktif yang muncul, ternyata bergema panjang pada wilayah pemakaian mediumnya. Kini, Gatot memilih kain perca sebagai mediumnya. Munculnya berawal dari renungannya terhadap bahan bekas dan perca kain tinggalan penjahit, sama posisinya seperti kertas sisa kolase untuk mix media-nya. Dalam renungan ini, pergeseran dari satu renungan ke renungan yang lain memang amatlah lumrah. Barangkali aliran dari pegeseran ke pergeseran itu bisa dijelaskan melalui postulat William James. William James adalah seorang sastrawan yang mengumandangkan persoalan psikologis dalam diri manusia. Menurut James, ada suatu aliran psikologis yang menurutnya ibarat aliran sungai yang bergerak. Ia menyebutnya sebagai stream of consciousness. Aliran yang berangkatnya dari apa dan berakhir pada apa. Awal dan akhiran berdiri secara centang perenang, ia tak memiliki kaitan khusus. Singkatnya kondisi ini sama seperti seorang yang ngerumpi, awalnya berbicara tentang sikat gigi, kemudian bebicara gigi kuda, kemudian berbicara kulit kuda, kemudian berbicara kuda catur, berbicara Karpov, Rusia, Amerika, perang dingin, dst, dst..

Aliran kesadaran seperti ini, memang memberikan kebebasan bagi lahirnya idiom baru bagi perupaan. Namun jika dibiarkan sama sekali tanpa renungan dan resapan maka, aliran itu akan terus dan terus tanpa memberikan kekayaan kemungkinan baru. Ibarat aliran sungai, jika ia dibiarkan tanpa upaya untuk membendung sama sekali, aliran itu justru berpotensi menjadikan banjir. Tapi jika terlalu lama dibendung, genangan air itu justru menjadi sarang penyakit, Dalam hal ini, memunculkan kecupetan cara pandang, karena selalu berpikir bahwa dunia kreatif hanya sebatas genangan itu saja.

Pada dua proses belakangan ini, rupanya aliran kesadaran(stream of consciousness) yang demikian deras mampu ia bendung, sehingga memunculkan kemungkinan perupaan yang baru bagi Gatot. Perupaan melalui perca, dari sisi teknis visualisasinya juga menarik disimak. Misalnya saja, jika pada awalnya Gatot memperlakukan perca itu ibarat sobekan kertas. Pada media kertas, seperti pada umumnya ia memakai lem untuk merekatkan antara satu sobekan dengan sobekan yang lain, sementara pada perca ia mencoba memakai benang untuk menjahitkan. Jika pada awalnya jahitan itu hanya diupayakan untuk merekatkan potongan-potongan perca, jahitan yang menelusup permukaan itu kini berubah fungsi. Jalinan benang itu kini justru menjadi bagian strategi perupaan. Benang-benang itu diperlakukan ibarat sebuah tarikan garis jika menggunakan kuas, sedangkan untuk warna flat, melebar dan rata ia menggunakan potongan perca.

IV
Setelah sekian panjang antara teks dan konteks diperkarakan, satu pihak mementingkan teks (visual karya) dan di lain pihak mengedepankan isi atau konteks. Kini perdebatan macam itu memang tidak bergema lagi. Kedua kubu yang saling memperkarakan, rupanya sudah sama-sama melihat bahwa dua irisan itu sama pentingnya. Dua irisan itu seperti dua sisi dari mata uang yang sama.

Demikian juga dalam proses berkarya Gatot. Terkadang dalam proses berkaryanya ia lebih didorong oleh keinginan untuk mengguratkan sebuah garis. Dari guratan-guratan itu kemudian justru muncul ide kemana ia akan membawa lukisannya. Apa yang mau ia kemukakan dalam lukisannya. Tapi kebiasaan melukis seperti itu tidak mutlak terjadi pada Gatot, ia bahkan juga sering dirangsang oleh cerita-cerita kawan-kawannya yang datang atau ia datangi. Beberapa lukisan seperti Rimba Kota (2001), ‘Lu dulu biar.... (2008), Yang Frustrasi (2008), Ritus (2008), Bukan Wanita Biasa (2008). Justru muncul dari ide yang ditangkap dari cerita teman-teman yang ternyata secara langsung mengalaminya, atau muncul dari renungannya kecenderungan ini menegaskan bahwa karya-karya itu tidak selalu muncul dari respon visual  awal yang ia buat.

Karya yang berjudul Lu dulu biar...(20008) adalah karya yang komikal dari sisi idenya. Namun dibalik gambar yang tergolong satir sesungguhnya  ada pengamatan yang berbuntut pada kritik. Karya itu berupaya menegaskan tentang kebiasaan seseorang yang sangat mencintai bintang peliharaannya.Si tuan yang terlihat lusuh, tak terurus dan jorok, maunya menyuruh piaraannya untuk mandi, membersihkan badannya agar tampil bersih,namun rupanya binatang peliharaan menyarankan agar Sang Tuan duluan, karena mungkin ia terlihat lebih lusuh dan jorok. Yang pokok dalam kritik yang komikal seperti ini, ia ingin menegaskan bahwa: gandrung yang patologis, apapun jenis dan wujudnya, cenderung meminggirkan hal-hal yang lain, bahkan hal yang paling penting sekalipun akan terpinggirkan.

Rupanya bahasa yang imajinatif[iv] yang dipilih bukan saja membuat tampilan visualnya menjadi unik namun juga memberikan kekuatan metaforis, sehingga karya-karyanya tidak terseret untuk menjadi vulgar bahkan menjadi sloganistik.

Dari dua proses karya yang dimiliki Gatot, saya ingin menegaskan bahwa porsi kapasitas intelektual dan kapasitas intuitif, sama-sama hadir dalam proses mengawali sebuah karya meskipun kedatangan dua kecenderungan memulai proses itu harus juga diperhitungkan dikemudian hari.[v] Sebagaimana seorang perupa pada umumnya, seringkali proses visualisasi di atas kanvas punya tantangannya sendiri, karena itu menjadi menarik.Tantangan itu misalnya muncul dari pengolahan warna, bentuk serta bidang yang tidak direncanakan, namun menarik untuk ditindaklanjuti.

Tantangan demi tantangan tetap patut dicoba, dihidupi, sebab tantangan itu yang akan selalu menghidupi kreatifitas, mutasi-mutasi dan pergeseran-pergeseran. Dan sepertinya saran Sting dalam konteks berkarya jadi penting: Harus mencintai apa yang telah dihancurkan dan harus menghancurkan apa yang kita cintai (baca: gaya yang telah dicapai).






--------------------
SYARIFUDDIN. Alumnus Pendidikan Seni Rupa IKIP Malang (Universitas Negeri Malang), kurator sejumlah pameran seni rupa, seperti Pameran Pra Bali Biennale, Balai Pemuda Surabaya 2005 Organized by Gracia Art Gallery Surabaya; Biennale Jatim I: Cityscape, Balai Pemuda 2006, Organized Taman Budaya Jawa Timur; Pameran Mari Bergembira, Cultural Center ITS, Mei 2006, Surabaya. Berkesempatan mengikuti residensi kurator di Selasar Sunaryo Art Space Bandung tahun 2004, mengikuti workshop curator I Curate, Gallery Soemardja , ITB, Bandung 2006,Ko-kurator untuk Biennale Jatim II: Alienasi, 2007; Wakil Redaktur bulettin Gracia, terbitan Gracia Gallery Surabaya. E-mail : syarifshadow@gmail.com


[i] Myoo’teyshun ini saya ambil dari cara baca dalam kamus bahasa Inggris untuk kata  MUTATION. Dengan demikian rujukan pemaknaan tetap sama seperti yang dituliskan dalam kamus WordWeb

[ii] Untuk pembahasan yang lebih komprehensif mengenai Luhmann, lihat Erkki Sevänen,” Art as an Autopoietic Sub-System of Modern Society A Critical Analysis of the Concepts of Art and Autopoietic Systems in Luhmann’s Late Production”, Theory, Culture & Society, 2001 (SAGE, London, Thousand Oaks and New Delhi), Vol. 18(1): 75–103

[iii] Lihat karya yang berjudul Berselisih (2007). Karya ini muncul dari renungan mengenai kertas, bahan bekas yang kemudian menuntut pengolahan lebih lanjut atau daur ulang.

[iv] Periksa pernyataan seniman dalam katalog pameran Holopis Kuntul Baris++ 2005, hal 45: ‘Dalam penuangannya ke dalam kanvas, selalu saya wujudkan dalam bentuk-bentuk imajinatif.

[v] Kerja seorang seniman lebih didasarkan pada penggunaan  kapasitas ‘intuisi’, yaitu kapasitas dalam mengolah berbagai potensi indera (sense) untuk  menghasilkan  sebuah ‘citra’ lewat berbagai medium. Kapasitas inderawi ini sering menjadi pemahaman yang berbeda dengan pemahaman yang bersifat ‘intelektual’. Kapasitas intelektual bisa disebut sebagai sebuah kapasitas  dalam mengolah pikiran untuk menghasilkan konsep-konsep. Namun, hal ini tidak berarti bahwa seorang seniman tidak mempunyai kapasitas ‘intelektual’. Kapasitas intelektual ini tetap dimiliki oleh seorang seniman, meski dalam banyak kasus atau prakteknya, kapasitas intelektual itu seperti tidak tampak. Syarifuddin, Pengantar Kuratorial use Your Imagination: IMAJINASI, SENSE, DAN REFERENS DALAM KARYA SENI